Kamis, 17 September 2009

REORIENTASI FMA

Resensi Pedoman Baru FMA (Farmer Managed Extension Activities)

Oleh Ir.Muhammad Irdan AB

Hasil Supervisi Bank Dunia menemukan kualitas dari proses pengembangan proposal FMA (Farmer Managed Extension Activities) di tingkat desa masih rendah yang antara lain disebabkan oleh (1) Tingkat pemahaman penyuluh Desa dan petani pemandu dalam implementasi FMA masih rendah, (2) Terburu-burunya pelaksanaan PRA dan penyusunan programa penyuluhan desa yang dipacu target penyerapan biaya, (3) Juga diindikasikan PRA tidak dilaksanakan dengan semestinya, baik dalam pengumpulan data maupun dalam interpretasi hasil PRA, sementara itu ada dugaan bahwa Tim Verifikasi belum berfungsi optimal dalam meloloskan atau menolak proposal yang diajukan. Secara faktual, konsep dan metodologi FMA di tingkat lapangan di hampir seluruh Kabupaten lokasi Program FEATI belum diterapkan secara taat azas, dan belum berorientasi pada pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani sehingga memerlukan upaya berupa tindakan korektif terhadap peraktek penerapannya di tingkat lapangan sebelum implementasi FMA Siklus II (Tahun 2009).

Berdasarkan hal tersebut maka Tim FEATI Pusat (CPMU) melakukan reorientasi FMA melalui perubahan Pedoman FMA yang memberikan penekanan pada orientasi agribisnis. Maka konsep FMA yang pada mulanya dianggap sebagai konsep penyuluhan semata, kini berkembang menjadi konsep penyuluhan dan agribisnis pedesaan. FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Jadi output yang diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PSK (Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampau ke hilir.

Terkait dengan hal tersebut dalam kerangka logis FMA, telah dipatok target akhir yang merupakan indikator (parameter) keberhasilan FMA Desa pada akhir program, antara lain (1) 80% pelayanan penyuluhan desa berfungsi dgn predikat memuaskan, (2) 70% penyuluh dan anggota organisasi petani di wilayah FEATI telah dilatih agribisnis , (3) 70% anggota organisasi petani terlibat dalam kemitraan dgn pihak swasta. Dan dalam pedoman umum FMA yang baru telah ditambahkan indikator keberhasilan FMA Desa antara lain 70 % Petani peserta FMA diharapkan : (1) Memiliki catatan tentang komoditas yang dibutuhkan oleh pasar, (2) Memiliki catatan tentang ketersediaan produk dan potensi yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar (3) Memiliki rencana agribisnis (4) Terlibat dalam merumuskan topik, materi pembelajaran dan terlibat dalam penyusunan proposal pembelajaran, (5) Produk/komoditasnya diterima oleh pasar, (6) Memiliki kemampuan organisasi dalam mengelola keuangan dan pengadaan barang serta pemecahan masalah pengelolaan dana FMA. Indikator tersebut tentunya memiliki target-target capaian tahunan (Per siklus), yang menjadi patokan evaluasi progress (kemajuan) capaian program.

Dari indikator FMA di atas, maka kegiatan pembelajaran dalam FMA sebenarnya menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan petani sebagai pelaku utama dalam melaksanakan pembelajaran agribisnis berbasis inovasi teknologi.

Dalam metode FMA ini pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifkasi peluang, permasalahan dan potensi yang ada pada dirinya, usaha dan wilayahnya, merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan kebutuhan mereka secara partisipatif dalam rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi, meningkatkan produktivitas usahanya guna peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan pelaku utama.

Proses pembelajaran diawali dengan Kajian Pengembangan Agribisnis Pedesaan secara partisipatif sebagai dasar penyusunan perencanaan usaha dan kegiatan belajar yang berorientasi agribisnis. Selanjutnya petani melakukan penyusunan Rencana Usaha (Kelompok dan Keluarga) sesuai dengan permintaan pasar. Tahap berikutnya dalah penyusunan Programa penyuluhan desa, penyusunan proposal FMA serta Pelaksanaan Kegiatan yang terintegrasi dengan usahan agribisnis petani.

Dampak yang diharapkan oleh berkembangnya aktivitas agribisnis diperdesaan lokasi FEATI yang dicirikan sebagai berikut (1) Adanya kontrak permintaan pasar terhadap produk yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu secara berkesinambungan, (2) Meningkatnya pendapatan dari pelaku utama agribisnis dan keluarganya, (3) Peningkatan produktivitas komoditi unggulan dan diversifikasi usaha (horisontal dan vertikal), (4) Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan dan Iebih menguntungkan, (5) Peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar organisasi petani dan dengan pelaku usaha lainnya dalam mengembangkan agribisnis diberbagai tingkatan mulai tingkat desa, kabupaten, dst, (6) Meningkatnya kemandirian dan keswadayaan organisasi petani dalam mengembangkan agribisnis dan penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani (Farmer Led Extension), (7) Pemilihan komoditi yang diusahakan menjadi unggulan desa, (8) Produk yang akan dihasilkan sudah terjamin pemasarannya (sejak proses perencanaan usaha), (9) Berperannya organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di desa, (10) Hasil pelaksanaan agribisnis menguntungkan, (11) Tumbuhnya organisasi petani yang berorientasi agribisnis, (12) Tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani, dan (13) Jumlah organisasi petani baru yang berfungsi dengan baik.

Demikian hal-hal substansial dan ideal dari Pedoman FMA yang baru yang membutuhkan dukungan stakeholders, karena pada dasarnya kegiatan pemberdayaan berjalan bila semua komponen yang memungkinkan pemberdayaan itu bisa berlangsung, bergerak dengan baik.Namun demikian, logika lapangan terkadang berbeda dengan idealisme Pedum. Untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, maka ada baiknya kita mencermati titik-titik krusial yang dapat menjadi faktor pembatas atau penghambat pelaksanaan metodologi FMA. Pertama, aspek managerial proyek yang dimaksudkan untuk memberikan dukungan efiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan yang terkadang justru manjadi faktor pembatas atau menjadi pelatuk biasnya sasaran program. Misalnya kesiapan Juknis dari segi waktu dan strategi sosialisasi, desseminasi dan implementasinya. Selain itu sinkronisasi kebijakan program dan penganggaran yang proses birokrasinya sering tidak selaras dengan siklus kegiatan di lapangan, sehingga akan muncul target percepatan untuk mengejar deadline penyerapan anggaran yang terkadang mejadi faktor penyebab terpotongnya proses atau tahapan-tahapan pemberdayaan petani sesuai idealisme Pedum. Degan kata lain terkadang di suatu sisi dukungan menagerial proyek terlambat mengantisipasi kebutuhan input program, dilain sisi tuntutan percepatan program selalu mebayang-bayangi pengelola di tingkat lapangan. Kedua, budaya proyek atau mentalitas instan (mencari jalan pintas) dengan target output (hasil) semata dengan mengabaikan Outcome (dampak) pelaksanaan program. Ketiga, Kemampuan fasilitator (TPL dan Petani Pemandu) dalam mengawal kualitas pelaksanaan kegiatan merupakan salah satu titik kritis, karena terkait dengan transfer Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan kepada petani dalam membangun prilaku agribisnis pedesaan. Keempat, sikap transparansi dan akuntabilitas dari segenap pengelola harus tetap terjaga, khususnya dalam membuka akses informasi terhadap segenap pemangku kepentingan yang memungkinkan program ini dapat di usung bersama secara inklusif, sehingga segenap stakeholders merasa memiliki program ini dan merasa bertanggungjawab untuk mensukseskannya.

Mungkin masih terdapat beberapa titik krusial lainnya, namun minimal empat hal di atas dapat diantisipasi sedini mungkin dengan melakukan penguatan strategi implementasi FMA, agar sasaran pemberdayaan agribisnis petani melalui FMA tidak bias lagi.

Tidak ada komentar: