Rabu, 15 Juli 2009

PRA, ... Perlukah ?

Sebuah Renungan Untuk Pemberdayaan Petani

Oleh Ir.Muhammad Irdan AB

Saat ini, di beberapa desa pelaksana program FMA (Farmer Managed Extension Activity) di Kabupaten Maros, sementara berlangsung kegiatan perencanaan penyuluhan (pembelajaran) petani secara partisipartif yang di lakukan oleh petani secara mandiri, difasilitasi oleh PPL dan Petani Pemandu (Penyuluh swadaya) dan dimulai dengan kegiatan penggalian gagasan masyarakat tani dengan menggunakan metode PRA (Partisipatory Rural Appraisal).

PRA atau apapun istilah lainnya, adalah teknik sederhana yang mempermudah warga menggali gagasan (kebutuhan) nya dengan melihat dan mengidentifikasi sendiri permasalahan dan potensinya, sekali gus membangun partisipasi, kerjasama dan dinamika warga. Hal itulah yang nantinya membatu mereka untuk membuat rencana secara rasional (sesuai kebutuhan) dan realistik (sesuai kemampuan sumberdaya yang dimiliki).

Semua instrument PRA, pada hakekatnya memiliki dua fungsi, Pertama mempermudah menggali potensi dan permasalahan yang selanjutnya menjadi acuan membuat daftar gagasan, Kedua membangkitkan partisipasi dan kerjasama warga.

Pada akhirnya PRA diharapkan bisa membangun prilaku warga, khususnya membangun kemampuan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan serta melembagakan kerjasama warga. Hasil dari PRA menjadi bahan baku perencanaan. Maka semakin mendalam kita melakukan analisis PRA, maka perencanaan yang dilakukan akan semakin menjawab permasalahan dan kebutuhan.

Lalu apakah masyarakat kita khususnya petani yang menjadi sasaran program pemberdayaan merasa penting untuk melaksanakan PRA sebagai metode penggalian aspirasi mereka itu ? Sesuatu biasanya dianggap penting dan mempunyai daya tarik, apabila hal itu bisa dirasakan manfaatnya oleh petani.

Setelah melakukan kunjungan ke berbagai Posluhtan (konsorsium petani di desa), penulis mengamati masih banyak warga tani yang telah diperkenalkan konsep PRA itu bersikap apatis atau kurang memandang arti pentinya PRA. Hal ini bisa diukur dari animo untuk berpartisipasi pada kegiatan PRA masih sangat minim. Mengapa ? Realitas lapangan menunjukkan bahwa PRA yang dilaksanakan selama ini belumlah PRA yang terbangun di atas kesadaran kritis warga tani. Baru sekedar paket kegiatan yang terlaksana di atas kesadaran mekanistis, bahkan lebih cendrung lagi kepada mobilisasi petani yang menggunakan “PRA” sebagai judul. Maka wajar jika prilaku petani yang kemudian terbangun adalah keterampilan mengisi format blanko isian yang baku tapa disertai pendalaman makna dan esensi kegiatan tersebut. Proses pembelajaran kurang menyentuh aspek sikap yang terkait dengan perubahan paradigma, norma, dan substansi kegiatan untuk menciptakan kemandirian petani. Apalagi bila dikaitkan dengan target percepatan penyerapan dana BLM-FMA, maka realitas pelaksanaan PRA menjadi instan sifatnya. Sasaran kegiatan lebih berfokus kepada output (hasil) ketimbang outcome (dampak). Tingkat partisipasi yang terbangunpun lebih cenderung bersifat eksklusif dan masih didominasi oleh segelintir pengurus Posluhtan.

Itulah sebabnya maka PRA dianggap sebagai hal yang mubassir, buang-buang waktu, bahkan hanya menambah sikap ketergantungan petani. Bagaimana mungkin membangun prilaku mandiri petani jika telah diawali dengan proses pembelajaran yang sifatnya meknistis-pragmatis, dimana penerapan metodologi pembelajaran dan pemberdayaan seperti PRA dimaknai hanya sebagai sebuah “paket” prasyarat untuk menadah dana bantuan dari atas.


Masih segar dalam ingatan penulis di awal era tahun 80-an ketika PRA menjadi sebuah kisah sukses pemberdayaan masyarakat yang dipelopori oleh NGO, ingin di adobsi dan diaplikasi oleh berbagai proyek pemberdayaan masyarakat, berbagai aktivis pelopor pelaksanaan PRA waktu itu memiliki kekhawatiran bahwa suatu saat PRA akan mengalami bias, dan akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan semula untuk memandirikan warga, bila ia dilaksanakan dengan cara-cara yang instan. Mobil pelastik (mainan anak) tentulah tidak sama dengan mobil sungguhan, begitu juga PRA Plastik tidak sama dengan PRA yang sungguh-sungguh, atau PRA yang totalitas. Kekhawatiran itu saat ini sudah menunjukkan gejalanya.

Mengapa sebahagian petani merasa tidak penting melaksanakan PRA itu ? Mungkinkah PRA yang mereka rasakan selama ini adalah PRA Plastik yang tidak mempunyai daya tarik dan tidak dirasa mamfaatnya bagi mereka ? Ataukah kita akan berkesimpulan bahwa PRA sebagai salah satu metode pemberdayaan itu tidak urgent ?

Jawabnya PRA yang sesungguhnya sudah dipraktekkan di berbagai dataran di negara kita dan menghasilkan best praktice (praktek-praktek terbaik) dan telah menggores sukses story pemberdayaan masyarakat, tetapi itu bukan PRA Plastik. Dan sejak diperkenalkannya program-program pembangunan yang bersifat DOUM (Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat), diakui oleh banyak pihak bahwa PRA itu adalah “barang bagus”. Lalu dimanakah akar masalahnya sehingga PRA kebanyakan itu menjadi PRA Plastik ?

Kalau kita menghitung-hitung titik-titik krusial program-program yang berlabel “pemberdayaan masyarakat”, maka yang paling banyak menjadi faktor penyebab biasnya program pemberdayaan adalah budaya instan dan mentalitas proyek.

Pemberdayaan adalah membagkitkan kesadaran kritis masyarakat untuk berfikir menolong dirinya sendiri, dan fasilitator pemberdayaan adalah pihak yang bertugas membuka ruang-ruang yang memungkinkan kesadaran itu bisa bangkit. proses itu kemudian dilanjutkan dengan membangkitkan kemampuan lewat proses pembelajaran yang mencerahkan melalui strategi komunikasi yang partisipatif. Jadi yang dilakukan bukanlah menyuap petani, karena metodologi menyuap atau mendikte sama dengan mencuri hak-hak dan kesempatan belajar bagi petani. Karena ini “pembelajaran”, maka orientasi utama kita adalah proses. Memotong tahapan proses pemberdayaan, dengan alasan mengejar target, sama dengan melakukan pembantaian terhadap kesempatan petani untuk mandiri.

Jadi akar masalahnya adalah persoalan penerapan “strategi” pemberdayaan yang lebih banyak berorientasi kepada output (hasil) dari pada outcome (dampak).

Tulisan ini hanyalah sekedar renungan yang tidak berpretensi menyalahkan “pihak” manapun terhadap adanya gejala mis-pemberdayaan di lapangan, tulisan ini hanyalah sekedar gelitik dan bahan dialog bagi fasilitator untuk mengantisipasi terjadinya mis-pemberdayaan bagi program yang berjudul “pemberdayaan”, agar tidak terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Ada beberapa solusi yang bisa diikhtiarkan untuk mensukseskan FMA, khususnya PRA dalam membangun prilaku petani secara komprehensif diantaranya, Pertama, memahami bahwa pemberdayaan petani adalah usaha yang bersifat totalitas dan tuntas, maka perlu menggerakkan semua lingkungan yang memungkinkan pemberdayaan itu bisa terbackup dengan tetap mengedepankan tumbuhnya dinamika emosional, jiwa pengabdian, dan mengantisipasi tumbuhnya mentalitas proyek serta budaya instan (jalan pintas) untuk mencapai tujuan. Kedua, perlunya revitalisasi strategi pemberdayaan, intensitas sosialisasi, penyegaran (refreshing) strategi komunikasi bagi petugas dan fasilitator yang akan berinteraksi langsung dengan petani, dengan tidak mentolerir adanya budaya instan. Ketiga pengayaan referensi dan manual teknik fasilitasi yang bersifat partisipatif, agar pemahaman petugas dan petani tentang penerapan metode FMA, libih komprehensif dan tidak terpahami secara parsial. Keempat, sosalisasi dan desseminasi program hendaknya lebih menekankan kepada substansi dan prinsip pemberdayaan petani dengan fokus membangun kesadaran kritis, menumbuhkan kemampuan petani dalam proses pembelajaran yang partisipatif dan memberikan muatan-muatan pengalaman, mengembangkan kelembagaan dan jejaring petani, agar petani dapat menjadi mandiri sebagai pelaku utama usaha taninya. Hanya dengan kerja yang totalitas dan tuntas sasaran pemberdayaan dapat dicapai.