Oleh Ir.Muhammad Irdan AB
Pada umumnya usaha tani yang diselenggarakan oleh petani, masih mengedepankan produksi (budidaya) secara konvensional, ketimbang melihat kebutuhan pasar. Beberapa komoditas yang dihasilkan, setelah panen, ternyata kurang laku di pasaran atau paling tidak harganya anjlok tidak sesuai harapan petani. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah komoditi yang diproduksi oleh para petani lebih banyak dari pada permintaan pasar atau over prosuksi. Maka permasalahan utama petani terkait dengan hal tersebut adalah komoditas yang tidak laku di pasaran. Padahal biaya produksi yang dikeluarkan utuk menghasilkan komoditi tersebut, tidak sedikit, sehingga usaha tani yang dijalankan menjadi “lebih besar pasak dari pada tiang” atau lebih besar pengeluaran dari pemasukan alias rugi.
Untuk mengatasi masalah itu, orientasi berfikir petani kita harus berubah ke orientasi agribisnis. Usaha tani harus dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang melingkupinya, diantaranya komponen input (masukan), produksi, pasca panen, pengolahan dan pemasaran, adalah faktor yang mutlak diperhatikan. Bukan hanya sekedar faktor produksi saja. Itulah yang dimaksud berfikir agribisnis adalah berfikir dari hulu sampai ke hilir, atau “satu siklus usaha tani”.
Namanya saja agribisnis, maka “pasar” adalah komponen pertama yang mutlak di perhatikan, sebelum melakukan proses produksi. Sejumlah pertanyaan-pertanyaan awal , yang mutlak dijawab terkait dengan pasar adalah komoditas apa yang paling laku (diminati) pasar ?, kemudian seberapa besarkah kebutuhan pasar terhadap komoditas itu ? Apakah kebutuhan pasar itu sudah terpenuhi ? atau berapa lagi kebutuhan pasar yang harus di suplai oleh petani ?
Untuk menjawab pertanyaan itu tentunya langkah yang perlu di lakukan adalah pemahaman sederhana mengenai kebutuhan pasar. Pertanyaan kita kemudian adalah, mampukah petani melakukan survay dan analisis permintaan pasar ? Kenyataan di atas menuntut adanya pemberdayaan petani, dari penyadaran akan pentingnya melihat pasar sebelum berproduksi, ke proses pembelajaran untuk bisa memahami keadaan pasar sebelum berusaha tani. Disinilah dibutuhkan intervensi pemerhati atau fasilitator pemberdayaan, adalah melakukan penguatan kapasitas petani agar bisa memahami pasar. Dan pasti bisa, karena yang mengetahui dengan pasti masalah petani adalah petani sendiri. Yang perlu dilakukan oleh fasilitator adalah membuka pintu atau jalan bagaimana para petani bisa mengoptimalkan potensinya sendiri. Jadi pembelajaran pertama petani dalam hal agribisnis adalah bagaimana petani faham dan mampu melakukan survay dan analisis pasar secara sederhana.
Selanjutnya, kemungkinan ada beberapa komoditas yang paling di minati pasar. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah komoditas yang mana yang paling di minati diantara yang di minati ? atau pertanyaan lainnya adalah komoditas yang mana yang paling menguntungkan bagi petani. Maka pembelajaran agribisnis kedua adalah bagaimana petani mampu melakukan hitung-hitungan (analisis usaha tani) terhadap setiap komoditi. Tentunya, setiap komoditas berbeda kebutuhan input (biaya produksinya) dan harga jualnya setelah di lempar ke pasaran. Matematikanya sangat sederhana, harga jual dikurangi ongkos produksi itulah keuntungan bagi petani. Dari logika sederhana itu selayaknya petani dapat mengetahui komoditas mana yang paling menguntungkan baginya sekali gus diminati pasar, dan mampu diproduksi dengan skala usaha tertentu.
Pemberdayaan agribisnis petani tidak berhenti hanya pada proses pembelajaran (Belajar sambil berusaha) secara personal saja. BELAJAR menciptakan kemampuan. Namun untuk memenuhi tuntutan pasar dan mengembangkan skala usaha, petani juga membutuhkan kerjasama dgn petani lainnya. Mungkin ada permasalahan-permasalahan atau kendala agribisnis yang tidak mampu di selesaikan di tingkat keluarga tani, maka dibutuhkan penguatan kelembagaan petani sebagai wadah kerjasama dan interaksi agar dapat mengembangkan aksesnya dan dapat menyelesaikan permasalahannya secara kolektif. Selain itu kebutuhan untuk membangun norma yang lebih besar (baca: institusionalisasi), juga dalam rangka meningkatkan nilai tawar petani.
Pada kenyataannya petani yang telah mengembangkan kerjasama, norma, dan kelembagaannya dari kelompok tani di komunitasnya, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) pada skala desa, hingga asosiasi petani pada tingkat kabupaten, propinsi dan seterusnya, juga semakin mengalami perluasan akses dan transformasi Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan. Dengan catatan kelompok yang terbangun itu adalah kelompok SEJATI, bukan kelompok MERPATI dan PEDATI (kelompok yang muncul ketika ada proyek). Realitas juga menunjukkan bahwa asosiasi petani yang spesipik atau fokus pada komoditas yang diupayakan bersama, lebih mudah mengalami proses pengembangan agribisnis dibanding institusi atau lembaga yang dibentuk berdasarkan kesamaan wilayah semata, namun tidak focus pada produk atau komoditas.
Sewaktu Pak Prof.Amiruddin menjadi Gubernur Sulsel, dicanamkan Triprogram Sulawesi Selatan yang sebenarnya berorientasi agribisnis. Program itu adalah (1) Perubahan pola fikir, (2) Pengwilayahan komoditas dan (3) Petik-Olah-Jual.
Perubahan pola fikir, arahnya dari berfikir lata ke berfikir produktif, yang contohnya sudah dikemukakan di atas. Pengwilayahan komoditas adalah pengembangan potensi wilayah dengan komoditas yang sesuai dengan karakteristik atau potensi lokal, dan Petik-Olah-Jual, bermaksud memberikan nilai tambah terhadap produk yang di hasilkan petani, bahwa akan lebih menguntungkan bila produk diolah dan dikemas terlebih dahulu sebelum di lempar ke pasar. Selain itu dapat mengantisipasi kemungkinan kerusakan-kerusakan produk yang rentan kerusakan bila disimpan terlalu lama.
Jadi pembelajaran agribisnis berikutnya setelah faktor produksi yang pada umumnya petani sudah sangat paham, adalah mengenai pasca panen dan pengolahan. Petani membutuhkan kemampuan skill teknologi pasca panen dan pengolahan, misalnya saja bagaimana membuat saos tomat dan membuat kemasan agar produksi tersebut menjadi lebih memiliki efisiensi, efektifitas dan bernilai jual tinggi. Berapa banyak komoditas di pasar swalayan dan mall, yang kuantitas serta kualitasnya relativ sama dengan yang dijual oleh petani di pasar tradisional, namun lebih laris, meskipun harganya lebih mahal dari pada yang dijual langsung oleh petani, hanya persoalan kemasannya yang lebih menarik.
Dalam skala besar, pada umumnya ada syarat produksi pertanian dapat diterima oleh pasar, yakni kualitas (mutu), kuantitas (jumlah) dan Kontinuitas (keberlanjutan suplai). Pada umumnya pasar lebih mengutamakan komoditas inport apakah antar pulau atau negara, ketimbang komoditas lokal, dengan alasan komoditas impor tersebut lebih menjamin kuantitas, kualitas, kontinuitas dan harga dibanding komoditas lokal.
Terkait dengan hal tersebut, proses pemberdayaan yang diperlukan oleh petani adalah fasilitasi dan mediasi pertemuan antara petani dengan pihak ke tiga atau berbagai jejaring agar dapat melakukan interaksi dan transaksi pemasaran produk, agar terbuka wawasannya tentang criteria produk yang diminati serta dapat dikerjasamakan dengan pihak pasar. Kekuatan jejaring petani atau kemitraan petani adalah indicator bahwa petani itu telah memiliki keberdayaan.
Semoga FMA (Farmer Managed Extension Activities) atau Kegiatan Penyuluhan yang dikelola mandiri oleh petani dapat menjadi proses membangun minat dan kesadaran, proses pembelajaran, penguatan kelembagaan dan penguatan jejaring petani yang beorientasi agribisnis, dapat mengukir kisah sukses pemberdayaan agribisnis petani di Indonesia.