Kamis, 17 September 2009

Temu Lapang Petani dan Peneliti

Acara bertajuk Temu Lapang Teknologi PHT (Pengendalian Hama Terpadu) Tomat antara peneliti dan petani, berlangsung di Posluhtan (Pos Penyuluhan Pertanian) Kelurahan Borong Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros, 17 September 2009. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara BPP Tanralili, BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Sudiang dan Posluhtan Kelurahan Borong.

Hadir pada acara ini antara lain 4 kelompok tani di kelurahan Borong, satu kelompok diantaranya adalah Kelompok Wanita Tani (KWT), Kepala dan staf peneliti dari BPTP, Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Maros, Koordinator BPP beserta segenap penyuluh kecamatan Tanralili, Pemerintah Kecamatan Tanralili dan Konsultan FEATI Kabupaten Maros.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan studi petani (demplot) PHT Tomat, di lahan kelompok tani dengan mengujicobakan 4 varietas tomat yaitu Vaietas Ratna EW, Varietas Latanza, Varietas Permata, dan Varietas Cosmonov. Demplot ini sudah di mulai sejak 3 bulan yang lalu, dimulai dengan pengolahan tanah, perbenihan, hingga pemanenan pada saat ini, diterapken teknologi PHT yang memadukan berbagai cara pengendalian organisme pengganggu tanaman. Rencananya selanjutnya BPTP akan lebih mengintensifkan sosialisasi teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, sebab menurut Abdul Syukur Syarif.SP.MP (Peneliti BPTP Sulsel) agar petani dapat lebih berdaya di pasaran agribisnis, perlu penguatan kapasitas petani bukan sekedar aspek produksi akan tetapi juga aspek teknologi pasca panen dan pengolahan yang selain dapat mengantisipasi fluktuasi harga pasar, juga mengantisipasi kerusakan komoditi hortikultura yang pada umumnya tidak bisa bertahan lama setelah di panen. Salah satu teknologi yang dimiliki oleh BPTP yang dapat diadopsi oleh petani tomat adalah teknik pembuatan Saus Tomat. BPTP bekerjasama dengan BPP juga akan memberikan konsultasi kepada petani tentang analisis usaha Tani Tomat.


Camat Tanralili mengungkapkan bahwa factor utama yang perlu diperhatikan sebelum petani memproduksi komuditasnya adalah persoalan analisis biaya, apakah perbandingan antara input dan output bernilai ekonomis atau tidak. Selanjutnya bagaimana pasarnya ? apakah produk tersebut dibutuhkan oleh pasar atau justru sudah over produksi. Lebih lanjut Kepala BPTP Dr.Ir.Nasrullah.M.Sc tugas BPTP sebagai lembaga peneliti adalah melayani petani melalui transfer teknologi yang merupakan kebutuhan petani, dimana teknologi yang di aplikasikan tersebut dapat dikembangkan secara kontinu, bukan sebatas ada proyek saja.

Pada kesempatan ini, Ir.Asad, M.Sc (Peneliti BPTP Sulsel) memaparkan kapita selekta teknologi PHT Tomat kepada petani, agar dalam membudiadayakan tanaman tomat dapat berorientasi pada peningkatan produksi akan tetapi tetap menjaga keseimbangan alam dengan memadukan berbagai teknik pengendalian organisme pangganggu tanaman diantaranya pengendalian secara mekanis, pengendalian hayati dan menjadikan pengendalian kimiawi sebagai alternative terakhir dengan memperhatikan ambang ekonomi perkembangan populasi serangga hama. Karena problem selama ini petani sudah menjadikan pestisida sebagai prilaku, sehingga bila ada serangga langsung diaplikasikan pestisida, sementara menurut Abdul Syukur Syarif.SP.MP dampak yang ditimbulkan oleh aplikasi pestisida secara tidak bijaksana adalah kesehatan, kerusakan keseimbangan alam dan matinya serangga berguna.

Konsultan FEATI Maros, Ir.Muhammad Irdan AB, pada kesempatan tersebut menyarankan agar semakin berkembang akses petani terhadap transfer teknologi, maka BPTP dapat mengembangkan paradigma riset partisipatoris, dan petani pembelajar dalam FMA diharapkan memberikan porsi yang seimbang terhadap narasumber yang berasal dari kalangan penyuluh, peneliti dan dari kalangan petani sendiri. Selanjutnya diharapkan dalam proses pembelajaran petani disesuaikan dengan siklus agribisnisnya dari hulu hingga ke hilir sehingga prinsip belajar sambil berusaha tani dapat dikembangkan.

Lebih lanjut LO FEATI Kab Maros Ir.Gusti Aidar menyatakan BPTP terbuka bagi petani dan pihak pemangku kepentingan mana saja yang bersedia mentrasfer teknologi yang dimiliki oleh BPTP. Bahkan BPTP sangat konsen untuk mengembangkan jejaring dalam rangka pengembangan informasi dan teknologi kepada petani. Acara ini diakhiri dengan panen Tomathasil demplot Teknologi PHT.Acara ini dimoderatori oleh Koordinator BPP Tanralili dan Penyuh Pertanian Ir.Dewi Chik.

REORIENTASI FMA

Resensi Pedoman Baru FMA (Farmer Managed Extension Activities)

Oleh Ir.Muhammad Irdan AB

Hasil Supervisi Bank Dunia menemukan kualitas dari proses pengembangan proposal FMA (Farmer Managed Extension Activities) di tingkat desa masih rendah yang antara lain disebabkan oleh (1) Tingkat pemahaman penyuluh Desa dan petani pemandu dalam implementasi FMA masih rendah, (2) Terburu-burunya pelaksanaan PRA dan penyusunan programa penyuluhan desa yang dipacu target penyerapan biaya, (3) Juga diindikasikan PRA tidak dilaksanakan dengan semestinya, baik dalam pengumpulan data maupun dalam interpretasi hasil PRA, sementara itu ada dugaan bahwa Tim Verifikasi belum berfungsi optimal dalam meloloskan atau menolak proposal yang diajukan. Secara faktual, konsep dan metodologi FMA di tingkat lapangan di hampir seluruh Kabupaten lokasi Program FEATI belum diterapkan secara taat azas, dan belum berorientasi pada pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani sehingga memerlukan upaya berupa tindakan korektif terhadap peraktek penerapannya di tingkat lapangan sebelum implementasi FMA Siklus II (Tahun 2009).

Berdasarkan hal tersebut maka Tim FEATI Pusat (CPMU) melakukan reorientasi FMA melalui perubahan Pedoman FMA yang memberikan penekanan pada orientasi agribisnis. Maka konsep FMA yang pada mulanya dianggap sebagai konsep penyuluhan semata, kini berkembang menjadi konsep penyuluhan dan agribisnis pedesaan. FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Jadi output yang diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PSK (Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampau ke hilir.

Terkait dengan hal tersebut dalam kerangka logis FMA, telah dipatok target akhir yang merupakan indikator (parameter) keberhasilan FMA Desa pada akhir program, antara lain (1) 80% pelayanan penyuluhan desa berfungsi dgn predikat memuaskan, (2) 70% penyuluh dan anggota organisasi petani di wilayah FEATI telah dilatih agribisnis , (3) 70% anggota organisasi petani terlibat dalam kemitraan dgn pihak swasta. Dan dalam pedoman umum FMA yang baru telah ditambahkan indikator keberhasilan FMA Desa antara lain 70 % Petani peserta FMA diharapkan : (1) Memiliki catatan tentang komoditas yang dibutuhkan oleh pasar, (2) Memiliki catatan tentang ketersediaan produk dan potensi yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar (3) Memiliki rencana agribisnis (4) Terlibat dalam merumuskan topik, materi pembelajaran dan terlibat dalam penyusunan proposal pembelajaran, (5) Produk/komoditasnya diterima oleh pasar, (6) Memiliki kemampuan organisasi dalam mengelola keuangan dan pengadaan barang serta pemecahan masalah pengelolaan dana FMA. Indikator tersebut tentunya memiliki target-target capaian tahunan (Per siklus), yang menjadi patokan evaluasi progress (kemajuan) capaian program.

Dari indikator FMA di atas, maka kegiatan pembelajaran dalam FMA sebenarnya menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan petani sebagai pelaku utama dalam melaksanakan pembelajaran agribisnis berbasis inovasi teknologi.

Dalam metode FMA ini pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifkasi peluang, permasalahan dan potensi yang ada pada dirinya, usaha dan wilayahnya, merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan kebutuhan mereka secara partisipatif dalam rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi, meningkatkan produktivitas usahanya guna peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan pelaku utama.

Proses pembelajaran diawali dengan Kajian Pengembangan Agribisnis Pedesaan secara partisipatif sebagai dasar penyusunan perencanaan usaha dan kegiatan belajar yang berorientasi agribisnis. Selanjutnya petani melakukan penyusunan Rencana Usaha (Kelompok dan Keluarga) sesuai dengan permintaan pasar. Tahap berikutnya dalah penyusunan Programa penyuluhan desa, penyusunan proposal FMA serta Pelaksanaan Kegiatan yang terintegrasi dengan usahan agribisnis petani.

Dampak yang diharapkan oleh berkembangnya aktivitas agribisnis diperdesaan lokasi FEATI yang dicirikan sebagai berikut (1) Adanya kontrak permintaan pasar terhadap produk yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu secara berkesinambungan, (2) Meningkatnya pendapatan dari pelaku utama agribisnis dan keluarganya, (3) Peningkatan produktivitas komoditi unggulan dan diversifikasi usaha (horisontal dan vertikal), (4) Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan dan Iebih menguntungkan, (5) Peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar organisasi petani dan dengan pelaku usaha lainnya dalam mengembangkan agribisnis diberbagai tingkatan mulai tingkat desa, kabupaten, dst, (6) Meningkatnya kemandirian dan keswadayaan organisasi petani dalam mengembangkan agribisnis dan penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani (Farmer Led Extension), (7) Pemilihan komoditi yang diusahakan menjadi unggulan desa, (8) Produk yang akan dihasilkan sudah terjamin pemasarannya (sejak proses perencanaan usaha), (9) Berperannya organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di desa, (10) Hasil pelaksanaan agribisnis menguntungkan, (11) Tumbuhnya organisasi petani yang berorientasi agribisnis, (12) Tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani, dan (13) Jumlah organisasi petani baru yang berfungsi dengan baik.

Demikian hal-hal substansial dan ideal dari Pedoman FMA yang baru yang membutuhkan dukungan stakeholders, karena pada dasarnya kegiatan pemberdayaan berjalan bila semua komponen yang memungkinkan pemberdayaan itu bisa berlangsung, bergerak dengan baik.Namun demikian, logika lapangan terkadang berbeda dengan idealisme Pedum. Untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, maka ada baiknya kita mencermati titik-titik krusial yang dapat menjadi faktor pembatas atau penghambat pelaksanaan metodologi FMA. Pertama, aspek managerial proyek yang dimaksudkan untuk memberikan dukungan efiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan yang terkadang justru manjadi faktor pembatas atau menjadi pelatuk biasnya sasaran program. Misalnya kesiapan Juknis dari segi waktu dan strategi sosialisasi, desseminasi dan implementasinya. Selain itu sinkronisasi kebijakan program dan penganggaran yang proses birokrasinya sering tidak selaras dengan siklus kegiatan di lapangan, sehingga akan muncul target percepatan untuk mengejar deadline penyerapan anggaran yang terkadang mejadi faktor penyebab terpotongnya proses atau tahapan-tahapan pemberdayaan petani sesuai idealisme Pedum. Degan kata lain terkadang di suatu sisi dukungan menagerial proyek terlambat mengantisipasi kebutuhan input program, dilain sisi tuntutan percepatan program selalu mebayang-bayangi pengelola di tingkat lapangan. Kedua, budaya proyek atau mentalitas instan (mencari jalan pintas) dengan target output (hasil) semata dengan mengabaikan Outcome (dampak) pelaksanaan program. Ketiga, Kemampuan fasilitator (TPL dan Petani Pemandu) dalam mengawal kualitas pelaksanaan kegiatan merupakan salah satu titik kritis, karena terkait dengan transfer Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan kepada petani dalam membangun prilaku agribisnis pedesaan. Keempat, sikap transparansi dan akuntabilitas dari segenap pengelola harus tetap terjaga, khususnya dalam membuka akses informasi terhadap segenap pemangku kepentingan yang memungkinkan program ini dapat di usung bersama secara inklusif, sehingga segenap stakeholders merasa memiliki program ini dan merasa bertanggungjawab untuk mensukseskannya.

Mungkin masih terdapat beberapa titik krusial lainnya, namun minimal empat hal di atas dapat diantisipasi sedini mungkin dengan melakukan penguatan strategi implementasi FMA, agar sasaran pemberdayaan agribisnis petani melalui FMA tidak bias lagi.

Kamis, 10 September 2009

Lokakarya Reorientasi FMA

Tim FEATI Pusat (CPMU) telah melakukan reorientasi FMA melalui perubahan Pedoman FMA yang memberikan penekanan pada orientasi agribisnis. Maka konsep FMA yang pada mulanya dianggap sebagai konsep penyuluhan semata, kini berkembang menjadi konsep penyuluhan dan agribisnis pedesaan. FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Jadi output yang diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PSK (Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampau ke hilir.

Terkait dengan hal tersebut di atas, untuk menindaklanjuti perubahan Pedoman Umum FMA, tanggal 10 September 2009 telah berlangsung kegiatan Pertemuan Sosialisasi dan Reorientasi Pedoman FMA di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Maros, yang diikuti oleh Pelaku proyek di tingkat Kabupaten (DPIU dan Tim Verifikasi) dan Kecamatan (BPP). Pertemuan dibuka oleh Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Maros (Ir.Ansharullah.MM), didampingi oleh P2K FEATI Maros (Ir.Alfian Amri MSi) dan dipandu oleh Koordinator FMA Kabupaten Maros (Asmuri.SPi) dan Konsultan FEATI Kabupaten Maros (Ir. Muhammad Irdan AB). Pertemuan ini membahas tentang evaluasi pelaksanaan FMA Desa tahun 2008, kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi Pedoman Umum FMA yang baru sebagai jawaban terhadap permasalahan di lapangan, pemaparan indikator keberhasilan FMA untuk bahan evaluasi, dan Kegiatan ini diakhiri dengan penyusunan workplan masing-masing Kecamatan ( BPP) sebagai rencana kerja tindak lanjut dan strategi implementasi FMA di tingkat lapangan.

Rencananya dalam waktu dekat, setiap kecamatan akan melakukan pertemuan reorientasi FMA di setiap BPP (Balai Penyuluhan Pertanian dengan menghadirkan pelaku FMA Kecamatan (PPL) dan Pelaku FMA Desa (Pengurus Posluhtan dan Penyuluh Swadaya). Diharapkan dengan adanya sosialisasi dan reorientasi FMA ini, proses pelaksanaan FMA yang berbasis kepada pengembangan agribisnis pedesaan bisa mulai di kembangkan pada kegiatan FMA Tahun 2009 (Siklus II).

Kepala Bapel Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Maros mengharapkan implementasi metode FMA dapat diterapkan secara taat asas sesuai dengan tahapan proses yang telah ditetapkan di dalam pedoman umum dan diharapkan sluruh Posluhtan di kabupaten Maros mampu mencapai target penyerapan dana grant FMA 100 % hingga medio desember 2009.

Kamis, 03 September 2009

Pelantikan Kepala Badan

Tanggal, 01 September 2009 Bertempat di Ruang pertemuan Bupati Maros, Bupati melantik Ir.H.Ansarullah,MM sebagai Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kab. Maros dan Ir. M. Alfian Amri,M.Si sebagai Sekretaris Badan. Dalam arahannya Bupati mengingatkan bahwa jabatan yang diemban sebagai pejabat merupakan amanah untuk itu diharapkan agar dpt menjaga amanah tersebut dengan baik. Berbuat dan bertindak yang terbaik untuk kelembagaan yang dipimpin agar program pemkab dan pemerintah pusat dapat terlaksana secara sukses. Hal ini berarti bahwa dengan dilantiknya keduanya sebagai petinggi di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kab. Maros semoga membawa angin segar bagi penyelenggaraan penyuluhan di Kab. Maros. Mengingat bahwa kedua pejabat yang dilantik sebelumnya merupakan pejuang - pejuang penyuluhan pada saat awal kemandirian lembaga penyuluhan yg pada saat itu masih bernama Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP).